Jejak Manusia Purba di Ngawi

    Indonesia memiliki beragam suku bangsa dan adat istiadat. Manusia yang bermukim di Indonesia tidak dimulai dari Proto Melayu atau Melanesoid, melainkan manusia purba yang keberadaannya menjadi pengungkap asal-usul manusia di beberapa wilayah di belahan dunia. Penemuan peninggalan manusia purba membuktikan bahwa persebaran manusia dimulai dari satu atau beberapa titik kemudian menyebar mengikuti kebutuhan manusia purba pada masa lalu yang terkenal masih liar, sulit, dan nomaden. Kehidupan manusia di masa itu sangat ekstrem bagi manusia zaman sekarang. 

    Manusia purba hidup dari mencari makan di alam liar dan hidup mereka nomaden. Berburu dan meramu menjadi keseharian yang wajib dilakukan khususnya bagi manusia purba laki-laki sementara manusia purba perempuan akan menunggu di gua atau mengumpulkan buah-buahan terdekat. 

    Manusia memulai sejarahnya dari kegiatan yang dilakukan kemudian lama kelamaan menjadi budaya sehingga kehidupan manusia purba disebut sebagai zaman praaksara. Tidak tepat jika disebut sebagai zaman prasejarah karena prasejarah berasal dari dua kata yaitu “pra” berarti sebelum dan “sejarah” yang berarti sejarah. Sementara itu, praaksara berasal dari kata “pra” yang berarti sebelum dan “aksara” yang berarti tulisan. Istilah lain yang mirip dengan praaksara adalah nirleka yang berasal dari kata “nir” yang berarti tanpa dan “leka” yaitu tulisan. Dengan demikian, praaksara adalah masa sebelum mengenal tulisan sementara prasejarah adalah masa sebelum mengenal sejarah. 

    Prasejarah tidak tepat untuk menyebut kehidupan manusia purba karena manusia purba sudah membuat budaya dari kegiatan dan kehidupan mereka sehari-hari mulai dari membuat perkakas, senjata, gaya hidup, kebiasaan, berkelompok dalam keluarga kecil atau keluarga besar, berkomunikasi, cara merawat anak, cara mencari tempat tinggal, cara mencari dan mengumpulkan makanan, dan kepercayaan. 

    Di masa tersebut, manusia purba cenderung tinggal di sekitar sungai. Jika kita melihat banyak peradaban manusia yang maju di masanya, semua berhubungan dengan sungai. Seperti peradaban Mesopotamia, peradaban Cina Kuno, peradaban Mesir Kuno, dan lainnya dimulai dari sekitar sungai-sungai besar. Semua sumber kehidupan bergantung dari air. Sehingga, jauh sebelum beradaban maju kota-kota besar manusia kuno, manusia purba sudah mempraktekkan hal serupa. Contohnya adalah hidup di sekitar Bengawan Solo. Menurut KBBI, Bengawan artinya adalah sungai besar.

    Bengawan Solo merupakan sungai terpanjang di Pulau Jawa. Panjangnya mencapai 548,53 km. Hulu sungainya berasal dari dua tempat. Pertama berasal dari Pegunungan Sewu, Wonogiri, Jawa Tengah dan kedua berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Dari Wonogiri berasal dari hulu Waduk Gajah Mungkur. Sementara dari Ponorogo merupakan daerah tangkapan air dari sejumlah sungai-sungai kecil yang bermula di sekitar Kota Ponorogo, terutama berasal dari Kali Slahung, Kali Keyang, dan Kali Sungkur. Kali adalah Bahasa Jawa untuk sungai. Aliran dari beberapa sungai ini menyatu menjadi Kali Madiun atau Bengawan Madiun.

    Bengawan Madiun merupakan anak sungai terbesar dari Bengawan Solo. aliran Bengawan Madiun menyatu dengan Bengawan Solo di Kabupaten Ngawi. Pertemuan dua aliran sungai ini kemudian menjadi satu sungai hingga Gresik sebagai hilir sungai. 

    Keberadaan sungai yang besar ini menjadikan manusia purba hidup bergantung dari hewan dan tanaman yang ada di sekitar alirannya. Karena manusia purba belum mengerti cara bercocok tanam, mereka mencari ikan, berburu hewan yang sedang minum di sungai, mengumpulkan buah-buahan yang aman dikonsumsi di pinggiran sungai, dan mengambil air sungai untuk minum. Dibandingkan dengan hidup di hutan, cara ini memang lebih mudah. 

    Peninggalan manusia purba dalam mencari makanan dan sisa-sisa makanan di tempat tinggal sementara mereka, meninggalkan jejak purbakala di sekitar Bengawan Solo. Salah satunya adalah kawasan Trinil, Desa Kawu, Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Eugene Dubois, seorang ahli anatomi berkebangsaan Belanda menemukan Pithecanthropus erectus di Trinil pada tahun 1891. Ia dibantu dengan tenaga kuli dari penduduk sekitar yang disewa untuk menggali dan menelusuri pinggiran Bengawan Solo di Trinil.

    Pithecanthropus erectus berasal dari tiga kata Bahasa Yunani, yaitu “Fithkos” yang artinya kera, “anthropus” yaitu manusia, dan “erectus” yang berarti tegak. Dengan demikian, Pithecanthropus erectus bermakna manusia kera yang berjalan tegak. 

    Berdasarkan penemuan ini, maka Eugene Dubois membawa hasil penemuannya ke Belanda untuk diteliti lebih lanjut. Sementara itu, lokasi dimana ia menemukan kerangka manusia kera itu diberi tanda sebuah monumen kecil berukirkan  P.e. 175 m (gambar anak panah), 1891/95. Maksud dari ukiran tersebut adalah menunjukkan bahwa P.e. (Pithecanthropus erectus) ditemukan di lokasi yang ditunjuk anak panah berjarak 175 m dari tugu pada ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1891 sampai dengan tahun 1895. Saat ini, replika dari Pithecanthropus erectus disimpan di Museum Trinil, Kabupaten Ngawi yang dibangun untuk menyimpan replika dan  penemuan terbaru lainnya dari pinggiran Bengawan Solo tak jauh dari Trinil. Sementara kerangka Pithecanthropus erectus yang asli disimpan di museum Belanda dan Jerman. Kemungkinan masih ada banyak peninggalan budaya dan kerangka manusia purba ataupun hewan purba di lapisan tanah purba dekat aliran Bengawan Solo di Trinil sehingga penelitian untuk mengekskavasi lebih lanjut masih terus dilakukan hingga sekarang. 

    Simbol gading dan manusia purba menjadi ikon terkenal dari Kabupaten Ngawi. Simbol peninggalan Pithecanthropus erectus di kawasan Trinil tersebut dibuat dalam beberapa tengara yang ada di Kabupaten Ngawi, antara lain ada di Tugu Kartonyono, gapura Alun-Alun Ngawi, patung air mancur depan Pendopo Wedya Graha Ngawi dan titik nol kilometer Ngawi. Selain itu, simbol gading dan Pithecanthropus erectus dituangkan dalam keindahan batik khas Ngawi. 

Dokumentasi pribadi: Tugu Kartonyono Ngawi

    Peninggalan manusia purba yang sangat penting dalam mengenali asal-usul manusia Jawa ini perlu untuk dilestarikan. Generasi muda sebaiknya belajar dan berlatih untuk mengekskavasi peninggalan-peninggalan manusia purba di Indonesia seperti di Trinil ini sendiri supaya hasil penemuan tersebut dapat dinikmati dan diteliti lebih lanjut sehingga tidak hanya berupa replika di lokasi penemuannya seperti replika kerangka Pithecanthropus erectus di Museum Trinil. Selain itu, penemuan manusia purba Trinil dan Sangiran di Sragen menjadi fokus utama beberapa ilmuwan dan peneliti tentang paleoantropologi dunia untuk menguak penyebaran peradaban manusia yang menurut beberapa sumber mengatakan berasal dari beberapa tempat di  dunia kemudian menyebar ke berbagai penjuru, salah satunya Indonesia. Inilah peluang para arkeolog dan paleoantropologi muda Indonesia agar tidak kalah dengan para peneliti dari luar negeri.


Komentar