Sejarah Perahu Bercadik

Pernahkah anda ke Borobudur? Kalau sudah pernah, apakah anda melihat dengan teliti relief yang ada di dinding candi atau hanya melihat keindahan panorama kawasan Borobudur dari ketinggian?

Dokumentasi pribadi: Relief Perahu Bercadik di Borobudur 

    Beberapa relief candi menggambarkan sebuah kapal yang sedang berdagang dan melakukan pelayaran samudra. Hal ini sangat menarik untuk ditelusuri karena bisa saja menjadi sebuah bukti yang menunjukkan bahwa Kerajaan Mataram Kuno juga mengarungi samudra dan menjadi kerajaan maritim selain kerajaan Sriwijaya. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kapal yang digambarkan di relief tersebut memiliki cadik (Bahasa Inggris: outrigger). 

    Perahu bercadik adalah transportasi air nenek moyang bangsa Austronesia yang melakukan ekspansi dari Taiwan ke pulau-pulau di Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sekitar 3000 SM yang meliputi Asia Tenggara, Pulau Melanesia, Mikronesia, Polinesia, dan Madagaskar. Kebiasaan mengarungi lautan yang luas ini juga menjadikan pengetahuan mereka berkembang dalam hal kemaritiman seperti yang mereka gunakan pada perahu mereka. Pada sisi kanan dan kiri perahu, mereka memasang bambu atau kayu ringan sebagai alat pengatur keseimbangan agar perahu tidak mudah terbalik. Selain itu seperti yang digambarkan dalam relief, terdapat layar ganda untuk mempercepat laju perahu yang sebenarnya juga didayung ini. Tidak hanya di masa lalu saja, hingga kini perahu bercadik masih digunakan oleh para nelayan. Namun, motor telah menggantikan dayung dan layar untuk mempercepat laju pelayaran. Hanya saja, cadik masih tetap digunakan karena cadik mencegah perahu terbalik akibat ombak saat akan berangkat dari pantai atau berada di tengah laut. 

    Tidak hanya untuk berlayar menjelajah lautan atau berdagang jarak dekat maupun jauh, perahu bercadik juga menjadi kapal perang. Perahu tradisional ini banyak melakukan pelayaran di Maluku, Indonesia. Kepulauan Maluku khususnya Banda menjadi harta karun berharga bangsa Eropa yang saling bersaing untuk menguasainya. Harga rempah-rempah (pala, cengkih, dan lainnya) yang berasal dari Maluku ini sangat tinggi di Eropa tetapi harganya sangat murah di tempat asalnya. Inilah yang menjadikan banyak negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Spanyol, dan Portugis rela datang jauh-jauh dari Eropa ke Maluku dengan biaya pelayaran yang mahal. Belum lagi kesiapan mereka dalam pertempuran antarnegara Eropa lain saat mengarungi lautan untuk hegemoni mereka di jalur perdagangan. Salah satu negara yang pada akhirnya memenangkan persaingan ini adalah Belanda yang lambat laun tidak hanya menjajah Maluku tetapi juga seluruh Indonesia selama beberapa abad. Belanda berhasil memonopoli rempah-rempah di Maluku, salah satunya dengan melakukan pelayaran Hongi. 

    Pelayaran Hongi atau ekspedisi Hongi (Hongitochten) adalah suatu bentuk pelayaran serta pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan VOC Belanda di perairan Maluku agar keberlangsungan kebijakan monopoli mereka atas rempah-rempah dapat berjalan dengan baik. Demi menjaga keuntungan yang didapat, Belanda juga menetapkan Hak Ekstirpasi yaitu hak memusnahkan pohon pala atau cengkih untuk menjaga harga rempah-rempah tetap stabil ketika produksi berlebih. Selain menggunakan kapal perang Belanda, mereka juga menggunakan Kapal Kora-Kora rakyat Maluku. Belanda membuat perjanjian dengan penguasa lokal dengan Kapal Kora-Kora untuk melayari dari pulau ke pulau melakukan hak ekstirpasi, mengejar pelaku penyeludupan rempah-rempah, dan pemusnahan kapal asing. Kelebihan yang dimiliki Kapal Kora-Kora adalah kecepatan. Selain itu, Belanda bisa mengurangi pengeluaran biaya pemerintah VOC untuk membuat kapal perang besar mereka.

    Oleh karena itu, perahu bercadik pantas disebut perahu legendaris peninggalan nenek moyang Austronesia yang pengaruhnya hingga kini sangat penting untuk pelayaran tradisional nelayan-nelayan di kepulauan Pasifik dan Hindia. Melalui relief di Candi Borobudur, perahu bercadik ini menarik perhatian Philip Deale, mantan Angkatan Laut Inggris, yang mengunjungi Candi Borobudur pada tahun 1982 untuk membuktikan kehebatan perahu kuno ini saat menjual kayu manis hingga ke Ghana, Afrika. Berbekal GPS dan saluran komunikasi dan ditemani I Gusti Putu Ngurah Sadana dari angkatan laut Indonesia sebagai nahkodanya, mereka berlayar pada tanggal 15 Agustus 2003 dari Ancol, Jakarta Utara melewati rute Kayu Manis yaitu Indonesia, Maladewa, Madagaskar, Tanjung Harapan, dan tiba di pelabuhan Tema, Accra, Ghana pada tanggal 23 Februari 2004. Kapal yang dinamai Samudra Raksa (pembela samudra) ini sekarang dipamerkan di Museum Samudra Raksa, sebelah utara Candi Borobudur, yang masih satu kompleks dengan taman purbakala Borobudur. Museum ini menjadi tonggak sejarah untuk mengenang dan menghargai seluruh kru dan semua pihak yang berjasa dalam keberhasilan Ekspedisi Kapal Borobudur.

Komentar