Sejarah Kerkop dan Keberadaannya di Indonesia

    

Kerkop di Indonesia

    Eksistensi sekelompok manusia di bumi selalu membentuk kebudayaan. Kebudayaan ini membentuk sistem yang komplek dalam bidang kehidupan manusia. Agama atau kepercayaan yang dianut oleh manusia menempatkan keberadaan manusia sebagai sesuatu yang luhur. Pada saat seorang manusia meninggal, jiwanya dipercaya melakukan perjalanan ke alam baka, menempati lokasi tertentu di bumi, atau mengawasi manusia yang masih hidup dalam bentuk roh. Transisi dari kehidupan menuju kematian dihormati oleh banyak kelompok manusia yang berbudaya dalam sebuah upacara pemakaman. 

    Upacara pemakaman adalah ritual untuk menghormati tubuh orang yang meninggal dan mempersiapkan jiwanya menuju ke alam baka. Upacara kematian dimulai dari persiapan jenazah sesuai agama atau adat hingga jenazah dikubur atau dikremasi. Setiap budaya memilih lokasi pemakaman yang berbeda-beda, misalnya suku Toraja memiliki pemakaman di tebing batu yang tinggi, di dalam batang pohon berukuran besar, dan di dalam gua. 

    Selain pemakaman tradisional, di Indonesia ada pemakaman Eropa. Bangsa Eropa yang telah menjajah Indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, Prancis, dan Belanda. Bangsa Belanda merupakan penjajah yang menguasai wilayah Indonesia paling lama dibandingkan keempat negara Eropa penjajah Indonesia lainnya. Ada banyak pengaruh budaya dan agama yang dibawa oleh bangsa Eropa ke Indonesia, salah satunya adalah bentuk pemakaman. Pemakaman orang Eropa di Indonesia disebut dengan kerkop.

Etimologi

    Menurut KBBI, kerkop berarti kuburan orang Eropa. Istilah ini diserap dari bahasa Belanda, yaitu kerkhof. Kerkhof berasal dari dua kata, yaitu 'kerk' berarti gereja dan 'hof' berarti halaman. Dengan demikian, kerkhof berarti kuburan orang Eropa yang berada di halaman gereja. Istilah yang serupa juga terdapat dalam Bahasa Jerman (kirchhof) dan Bahasa Inggris (churchyard). Kebiasaan orang Eropa mengubur jenazah dekat dengan gereja sudah dilakukan sejak Abad Pertengahan.

Sejarah Kerkop di Eropa

    Agama mayoritas orang di Belanda adalah Kristen. Agama ini telah mempengaruhi kebudayaan bangsa-bangsa di Eropa sejak abad ke-4 M. Kekristenan di Eropa dimulai sejak zaman Kekaisaran Romawi. Kaisar Konstantinus mengonversi agama yang dianut Kekaisaran Romawi dari Politeisme menjadi Kekristenan pada tahun 312 Masehi (Frediksen, 2010). Agama ini terus menyebar seiring dengan perluasan wilayah kekuasaan Kekaisaran Romawi yang semakin bertambah luas di benua Eropa. Pada tahun 286 M, Kekaisaran Romawi terbagi menjadi dua, yaitu Kekaisaran Romawi Barat dan Kekaisaran Romawi Timur. Kekaisaran Romawi Barat yang berpusat di Roma berakhir pada tahun 476 M, sedangkan Kekaisaran Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel masih bertahan hingga tahun 1453 M.  

    Abad Pertengahan dimulai di Eropa pada tahun 476 M (kejatuhan Kekaisaran Romawi Barat) dan berakhir pada zaman Renaisans (dimulai pada abad 13, 14, atau 15 M). Pada masa ini, Eropa mengalami Perang Salib dan pandemi Maut Hitam (Black Death). Selama pandemi Maut Hitam, banyak pemakaman di sebelah bangunan gereja yang penuh. Untuk menjaga kesehatan lingkungan sekitar gereja, sebagian besar jenazah terpaksa dimakamkan di pemakaman massal yang berada jauh dari gereja atau di luar tembok kota. Peristiwa ini menunjukkan bahwa area pemakaman di dekat gereja lebih banyak dipilih dibandingkan dengan area pemakaman yang jauh dari gereja. 

    Dalam ajaran Katolik, tanah di dekat gereja adalah tanah yang telah disucikan. Tanah yang disucikan (consecrated ground) adalah tanah yang menjadi tempat keberadaan objek suci dalam Gereja, baik itu lokasi bangunan gereja yang masih berdiri maupun lokasi bekas bangunan gereja yang sudah tidak ada (Christian Community for Apostolic and Charismatic Empowerment Ministries, 2024). Berdasarkan pengertian tersebut, jemaat gereja dianjurkan untuk dimakamkan di tanah yang disucikan sesuai dengan ajaran agama. 

    Pada awalnya, kerkop hanya digunakan sebagai tempat pemakaman bagi para pengurus dan jemaat gereja. Namun, pihak gereja menjadi tidak konsisten dengan ketetapan tersebut. Akibatnya, para bangsawan dan tokoh berpengaruh juga dapat dimakamkan di kerkop (Mirza, 2021). Karena jumlah orang yang dapat dimakamkan di kerkop semakin banyak, maka biaya perawatan makam semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan kerkop menjadi praktek pemakaman berbayar dan bangsawan atau tokoh berpengaruh dianggap mampu membayarnya.

    Menurut Vivas (2017), Gereja hanya memperbolehkan tanah pemakaman yang disucikan digunakan untuk orang Kristen yang taat dan baik. Selain itu, kerkop hanya boleh digunakan untuk orang Kristen yang dianggap meninggal dengan wajar (Rientjes,1933:159). Orang yang tidak dimakamkan di kerkop dianggap sebagai orang Kristen yang tidak taat pada agama (Mirza, 2021). Mereka yang dianggap tidak taat agama atau tidak mampu membayar biaya pemakaman di kerkop akan dimakamkan di pemakaman umum. 

    Adanya berbagai bentuk diskriminasi dalam praktek pemakaman di kerkop menyebabkan orang dari golongan menengah ke bawah, orang yang dianggap meninggal dengan tidak wajar, dan orang yang dianggap tidak taat pada agama tidak dapat dimakamkan di sana. Mereka hanya bisa dimakamkan di pemakaman umum. Umat Katolik boleh dimakamkan di pemakaman umum asalkan tempat pemakaman tersebut sudah diberkati dengan benar berdasarkan Kitab Hukum Kanon (Christian Community for Apostolic and Charismatic Empowerment Ministries, 2024). Namun, hingga saat ini, banyak orang Kristen lebih memilih dimakamkan di kerkop daripada di pemakaman umum, asalkan kerkop masih ada di kota mereka.

Sejarah Kerkop di Indonesia

    Setelah penaklukan Jayakarta dan pendirian Batavia oleh J.P. Coen pada tahun 1619, masyarakat Belanda mulai mendirikan kota dengan fasilitas yang lengkap, seperti benteng, permukiman, gereja, dan pemakaman. Pada saat itu, Belanda masih memegang erat budaya Eropa. Kebudayaan Eropa yang belum mengalami penyesuaian dengan budaya Nusantara ditunjukkan dalam arsitektur bangunan, sistem kanal, bentuk benteng, hingga arsitektur gereja dan kerkop. 

    Pada tahun 1632, VOC mendirikan Gereja De Oude Hollandsche Kerk atau Oude Kopelkerk di dalam Kasteel Batavia (tembok kota Batavia). Gereja ini menjadi gereja pertama di Indonesia yang memiliki kerkop. Ada dua tokoh penting VOC yang dimakamkan di sana, yaitu J.P. Coen dan G.W. Baron van Imhoff. Kemudian, Gereja Portuguese Binnenkerk dibangun pada tahun 1695 di luar Kasteel Batavia. Gereja Portuguese Binnenkerk ditujukan bagi semua orang Portugis atau orang Kristen yang berbicara bahasa Portugis, misalnya kaum Mardijker.

    Permukiman Belanda semakin bertambah seiring dengan wilayah koloni yang bertambah luas. Karena alasan bisnis atau tugas militer, banyak orang Belanda yang harus menyesuaikan diri dengan berbagai kondisi lingkungan dan budaya di Nusantara. Budaya kerkop juga ikut berubah. Pemakaman orang Belanda tidak lagi selalu berada di dekat bangunan gereja. Kemudian, bangunan gereja dan pemakaman menjadi benar-benar terpisah pada perkembangan selanjutnya. Meskipun lokasi makam sudah terpisah dari bangunan gereja, pemakaman orang Eropa di Indonesia tetap disebut dengan kerkop. 

Tulisan Memento Mori di Kerkop

    Kompleks kerkop di Indonesia sering kali dilengkapi dengan gerbang bertuliskan ‘Memento Mori’. Kalimat tersebut berasal dari bahasa Latin yang berarti “Ingatlah Kematian.” Kalimat ‘Memento Mori’ mengingatkan kepada pengunjung kerkop bahwa suatu saat manusia pasti mati. Sayangnya, tidak banyak gerbang kerkop yang masih utuh di Indonesia. 

Kondisi Kerkop di Indonesia

    Semua kota di Indonesia yang memiliki kawasan permukiman orang Eropa selalu memiliki kerkop. Namun, tidak semua kerkop terawat dan terjaga keutuhannya. Hal ini disebabkan oleh pencurian dan perusakan yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab sejak masa perjuangan pergerakan kemerdekaan hingga sekarang. Pada saat pemerintah kolonial Hindia Belanda tidak berkuasa lagi di Indonesia, pengawasan dan perawatan kerkop juga ikut berhenti. 

    Ada kerkop yang dirusak karena ketidaksukaan masyarakat pribumi dengan bangunan peninggalan kolonial. Selain itu, marmer yang direkatkan pada bangunan kerkop sering dicuri. Marmer-marmer tersebut memang memiliki harga yang mahal, apalagi marmer yang diimpor dari Italia. Plakat marmer bertuliskan nama mendiang yang dikuburkan juga ikut menjadi sasaran pencurian. Tidak hanya bangunan kerkop, perhiasan atau barang berharga lain yang dikubur di pemakaman juga dicuri.

    Hampir tidak ada keluarga Eropa berkunjung ke makam leluhur mereka di Indonesia. Selain jarak yang terlalu jauh, banyak dari mereka yang sudah tidak mengingat leluhur mereka. Kondisi pergolakan politik dan militer yang parah selama zaman perjuangan kemerdekaan Indonesia juga menyulitkan mereka untuk tetap memelihara peninggalan keluarganya di Indonesia. Kompleks Ereveld Menteng Pulo adalah pemakaman Belanda untuk korban yang gugur selama Perang Dunia 2 dan masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pemakaman yang berlokasi di Jakarta tersebut mungkin menjadi salah satu pemakaman Belanda yang paling terawat di Indonesia. 

    Sebagai simbol kolonialisme, kerkop seharusnya menjadi sumber sejarah yang sangat penting. Makam menjadi salah satu peninggalan yang mampu membuktikan keberadaan tokoh-tokoh sejarah. Selain itu, banyak fakta sejarah yang belum terungkap dan mungkin bisa diungkap melalui pencarian nama pelaku sejarah tersebut di kerkop. 

    Sumber: 

  1. Frediksen, P. (2010). Christians in the Roman Empire in the First Three Centuries CE. Dalam Green, B (Ed.), Christianity in Ancient Rome: The First Three Centuries (hal. 587-606). Edinburg: T&T Clark
  2. Vivas, M. (2018). Christian Burial Privation in the Middle Ages: an Interdisciplinary Approach (France, Mid-10th–Early 14th)”. Imago Temporis: Medium Aevum, XII, 191-210, https://doi.org/10.21001/itma.2018.12.06
  3. Christian Community for Apostolic and Charismatic Empowerment Ministries. (2024, Mei 10). What Are Consecrated Grounds?. Diakses dari ccacem.org: https://ccacem.org/2024/05/10/what-are-consecrated-grounds/ pukul 21.48 WIB
  4. Mirza, M.Y. (2021). Perkembangan dan Kondisi Kerkop di Indonesia. Buletin Cagar Budaya, VIII(1), 29-35
  5. Rientjes, A. E. (1933). Het Kerkhof In Vrogere Tijden. Utrecht: Spaarnestad and St. Bernulphusgilde.


Komentar

Populer

Pusat Agrowisata Plaosan Magetan

Kenali Ciri-Ciri Buku Bajakan dan Jangan Membelinya