Ubin Enkaustik / Tegel di Indonesia

    Ubin menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam seni arsitektur Hindia Belanda di Indonesia. Mulai dari yang polos, berwarna, bermotif, dan memiliki bentuk yang bermacam-macam. Motifnya antara lain flora, sulur-suluran, bunga, dan geometris. Penggunaan ubin menggantikan penggunaan batu, tanah, kayu, dan semen yang telah digunakan sebelumnya untuk lantai bangunan seperti pada rumah-rumah adat di Indonesia yang terkadang lantainya hanya berupa tanah dan kayu pada rumah panggung. Perkembangan ubin sudah dimulai sejak abad pertengahan yaitu sekitar abad ke-13. 

Dokumentasi pribadi: Salah satu contoh ubin berhias di Jalan Pahlawan, Kota Madiun

    Pada masanya, ubin menjadi salah satu karya seni yang memperindah bangunan gereja, istana, atau rumah orang-orang kaya. Pembuatannya dengan menggunakan alat-alat sederhana dan mengandalkan keterampilan tangan pembuatnya sehingga harga untuk ubin hias menjadi mahal. Sebelum berkembang ubin hias dari tanah liat ini, lantai gereja dan istana dibuat dengan menggunakan ubin dengan warna dan bentuk yang beraneka ragam. Dari bentuk dan cara memasangnya mirip dengan membuat mozaik yang banyak ditemukan di karya seni kuno. Glasir beragam warna juga diberikan pada mozaik. Salah satu contoh ubin mozaik ini ada di Byland Abbey, Ryedale, North Yorkshire, Inggris. Cara ini sangat sulit dan membutuhkan waktu lama hingga ditemukan cara membuat ubin dengan warna dan motif yang beraneka ragam dengan cukup satu bentuk saja, yaitu persegi. Bentuk yang sederhana ini memudahkan pekerja untuk menyusun lantai. 

    Dalam masa keemasannya, banyak pesanan yang datang dari para bangsawan dan rohaniwan dari gereja-gereja megah di Eropa untuk memperindah bangunan mereka. Motif yang ada di ubin dapat disesuaikan dengan permintaan. Beberapa di antaranya mengandung simbol dari kekuasaan seorang penguasa atau simbol keluarga bangsawan. 

    Cara untuk membuatnya cukup sederhana.

    1. Pertama siapkan cetakan motif timbul dengan bingkai yang bisa dilepas yang memiliki ketebalan tertentu. Tebal dari ubin ditentukan dari tebal bingkai ini. 

    2. Kemudian taburi dengan pasir halus agar tanah liat tidak terlalu lengket menempel dengan cetakan nantinya. 

    3. Tempelkan tanah liat di atas cetakan tersebut sambil ditekan perlahan hingga semua motif tertutup oleh tanah liat. Metode ini mirip dengan kita memainkan plastisin anak-anak. 

    4. Setelah itu, tambahkan tanah liat lebih banyak lagi hingga memenuhi bagian dalam bingkai. 

    5. Tekan dan pijit hingga padat kemudian buang sisa tanah liat berlebih. 

   6. Ratakan permukaannya dan siapkan semacam balok kayu dengan ukuran yang sama dengan ukuran ubin. 

    7. Letakkan bagian tidak bermotif (hasil cetakan dibalik) di atasnya lalu tekan bingkai perlahan ke bawah. Setelah bingkai terlepas, pindahkan ubin tanah liat ini ke atas meja. 

    8. Tuangkan glasir dengan warna yang diinginkan untuk mengisi ruang relief dari motif timbul yang ada di atas ubin tanah liat. 

    9. Keringkan ubin tanah liat hingga tanah liat dan glasir mengeras. Butuh waktu lama untuk mengeringkannya. 

    10. Jika sudah kering, kikis permukaan bermotif dengan alat khusus. Tujuannya adalah mengikis glasir yang menutupi permukaan tanah liat keras sehingga motifnya terlihat karena yang diperlukan adalah corak dari motif yang terisi oleh glasir ini. Dengan menggunakan pisau, buat cekungan dengan ukuran dan kedalaman yang cukup sebagai media untuk menempelkan ubin ke lantai saat pemasangan.

    11. Langkah terakhir adalah mengoven ubin hinngga mengeras dengan baik. 

    Pada perkembangan selanjutnya, alat press digunakan untuk menekan tanah liat sehingga lebih cepat dibandingkan menggunakan tangan. Produksi ubin enkaustik dari tanah liat mulai tergantikan dengan ubin enkaustik dari semen dengan teknik yang tidak jauh berbeda dengan ubin enkaustik tanah liat. 

    Pada abad ke-19, banyak perusahaan yang membuat ubin enkaustik ini, salah satu yang terkenal adalah Perusahaan Mintons. Negara-negara Eropa menyebarkan teknik dan produk dari ubin enkaustik ini ke negara-negara jajahannya. Spanyol membawanya ke Benua Amerika, Inggris membawanya ke India, dan Belanda membawanya ke Indonesia. 

    Dalam masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, Belanda membawa banyak karya seni dari Eropa ke Indonesia, salah satunya ubin. Belanda menjadi salah satu negara yang memproduksi ubin hias berkualitas tinggi. Peminat dari ubin ini tidak hanya dari kaum bangsawan saja tetapi juga para pedagang kaya seperti para pedagang Tionghoa untuk menghias rumah mereka dengan keindahan interior rumah yang didukung dengan motif ubin yang beraneka ragam motif dan warna.

    Batu ubin disebut juga dengan tegel. Banyak orang Indonesia menyebut ubin semen dan ubin enkaustik dengan tegel. Sebenarnya, tegel berasal dari Bahasa Belanda yang merupakan serapan dari Bahasa Latin, tegula. Pembuatannya dulu menggunakan keterampilan tangan sehingga produksi dalam jumlah besar membutuhkan waktu lama dan hal ini mempengaruhi harga jualnya menjadi mahal. Pabrik yang memproduksi ubin enkaustik di Indonesia salah satunya adalah Pabrik Tegel cap Kunci yang merupakan nama baru setelah dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia. Nama aslinya adalah Firma Tegel Fabrik Midden Java. Didirikan oleh dua orang berkebangsaan Belanda bernama Louis Maria Stocker dan Jules Gerrit Commane pada 1927. 

    Di Hindia Belanda, bangunan-bangunan kolonial mulai dari stasiun kereta api, bank, hotel, kantor pemerintahan, kantor dagang, kantor pos, dan banyak tempat umum serta rumah-rumah penduduk berkebangsaan Belanda menggunakan tegel berhias ini. Kaum bangsawan Nusantara juga membeli ubin hias untuk menambah keindahan istana. Bangunan keraton kesultanan Yogyakarta adalah salah satu contohnya. Karena harganya yang mahal menjadikan status sosial pemilik rumah atau bangunan yang menggunakan ubin berhias meningkat. Ubin ini menjadi terkenal di pertengahan abad 19 hingga pertengahan abad 20. Namun, popularitas ubin berhias menurun karena digantikan dengan keramik yang semakin banyak diproduksi dan permukaannya mengkilap. 

Komentar